Ayo Hijrah Bersama-sama

Senin, 16 Agustus 2021

GURU INDONESIA, AYO BERBENAH !

 GURU INDONESIA, AYO BERBENAH ! 

oleh : Kuny Abidatul Mahmudah 

Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara pernah mengalami krisis moneter (krismon) yang mencapai puncaknya pada tahun 1997. Dampak dari krisis ini  sangat terasa  pada perekonomian Indonesia. Fondasi ekonomi yang dibangun selama ini hancur berkeping-keping  dengan melejitnya harga tukar dolar dan terjungkalnya nilai rupiah. Harga bahan pokok melambung tinggi sementara daya beli masyarakat melemah karena melemahnya nilai uang yang mereka miliki. Yang sangat merasakan dampak krisis ini adalah rakyat biasa dengan penghasilan di bawah rata-rata. Hal ini juga berpengaruh pada stabilitas negara dengan banyaknya demonstrasi yang menuntut pemerintah bertanggung jawab atas krisis ini. Akhirnya, pemerintahan orde baru tumbang dan reformasi tumbuh seraya melanjutkan.

17 tahun lebih reformasi sudah berlalu. Namun dampak krisis itu masih terasa. Bahkan tahun kemarin,  nilai tukar dolar merangkak naik dan menyebabkan harga BBM “terpaksa” dinaikan lagi. Analisis pengamat ekonomi, “Kondisi ini akan berlangsung lama dan rakyat harus bersiap terus menghadapi dan “menikmati”  krisis ini agar tidak mengalami stress .” Inilah pilihan yang tepat bagi rakyat  kecil agar mereka bisa bertahan dan mempertahankan hidup dari gempuran krisis yang menghadang dan menghalang.

Bagaimana dengan krisis keteladanan? Hal ini dampaknya lebih dahsyat lagi dari krisis moneter karena akan merusak pondasi moral bangsa. Nilai keteladanan mengalami krisis  (hilang atau sulit) ditemukan di negeri ini (seperti barang langka saja). Pemimpin yang seharusnya memberikan keteladanan kebaikan pada rakyatnya justru melakukan tindakan yang berseberangan dengan keteladan itu. Gaya hidup  yang mewah dan kurang peduli dengan penderitaan rakyat merupakan warna kehidupan banyak pemimpin. Nilai moral, kejujuran dan kebenaran tidak lagi menjadi landasan bagi mereka dalam menentukan kebijakan negara.

Dalam dunia hukum, krisisnya lebih parah lagi. Penegak hukum sebagai benteng keadilan justru malah merusak kebenaran dan kekuatan hukum. Ketidakadilan dalam penegakan hukum terlihat jelas dan sering diberitakan melalui media. Tindak korupsi dan penyuapan sudah merupakan tradisi jahat yang masih tetap dipertahankan sehingga betapa banyak para hakim, jaksa dan pengacara yang tertangkap tangan menerima uang suap dan kini berurusan dengan hukum itu sendiri. Dan yang tidak tertangkap tentu lebih banyak lagi.

Keadilan hukum sangat mahal di negeri ini. Rakyat jelata yang melakukan kesalahan atau dosa “ringan”, ditanggapi sigap oleh  pendekar hukum. Berbagai jurus lihai mereka gunakan sehingga dengan mudah dan dalam waktu singkat, hakim dapat menjatuhkan  vonis hukum  dengan bangga pada orang-orang yang tak berdaya.

Dalam dunia pendidikan juga tidak jauh berbeda -keteladan yang seharusnya ada justru tidak nampak jelas dalam dunia nyata. Apalagi kebijakan  pendidikan dipengaruhi oleh politik dan ekonomi (bisnis). Maka nilai teladan tidak lagi menjadi panglima dalam melaksanakan tugas itu. Hal ini juga berpengaruh pada para guru. Memang ada guru yang telah berusaha menjalankan perannya dengan baik sebagai guru teladan bagi anak didiknya. Namun jumlahnya sangat terbatas. Banyak guru hanya sekedar melaksanakan tugas. Menyampaikan ilmu tanpa memperhatikan nilai moral anak didik atau ada guru yang tak berdaya karena keterbatasan yang mereka miliki. Tanpa disadari, anak didik kehilangan kompas dan figur yang jelas dalam menggapai cita-cita mereka.

Sangat prihatin melihat kondisi anak didik  (terutama usia remaja) saat ini. Mereka cenderung menjadikan bintang film layar perak, artis sinetron dan bintang lapangan sebagai idola dan model hidupnya. Mulai artis Bollywood  yang tenar sampai artis Hollywood yang bersinar, bintang muda Indonesia berbakat sampai bintang muda Korea yang memikat. Mulai jago lapangan Indonesia bernama Andik Vermansyah yang kecil tapi lincah sampai pada bintang lapangan dunia yang bayarannya mahal seperti Lionel Messi yang sering menghiasi pemberitaan olahraga dan dunia hiburan. Mereka ini mengisi pikiran dan hati anak didik sehingga apa yang mereka perankan mulai dari gaya hidup, pergaulan bebas dan kesukaannya dijadikan model kehidupan anak didik.

Saat ini generasi muda mengalami krisis keteladanan, terutama keteladanan seorang figur pemimpin. Hal ini terjadi karena sedikitnya media massa yang mengangkat tema tentang tokoh - tokoh teladan pemimpin bagi generasi muda. Tayangan - tayangan televisi misalnya, didominasi acara hiburan dalam berbagai variasinya, seperti acara sinetron atau acara gosip selebriti tidak dapat diharapkan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan.

Dapat dirasakan dampaknya apabila hal itu dikonsumsi oleh anak - anak. Banyak dampak negatif yang ditimbulkan terutama berkaitan dengan perkembangan tingkah laku anak dan generasi muda sekarang akan kehilangan seorang figur pemimpin yang baik untuk diteladani.

Pada semasa hidupnya Soekarno banyak hal yang dapat dijadikan contoh/ panutan untuk generasi muda saat ini. Dari masa kecilnya kehidupan Soekarno sudah diisi dengan semangat kemandirian. Hal ini tercermin dalam pemikiran, ucapan dan tindakan dalam kehidupannya, seperti menciptakan tujuan, belajar menyayangi makhluk ciptaan Tuhan, pentingnya ilmu pengetahuan, tidak mau direndahkan orang lain, berani mengambil keputusan dan tindakan, rasa empati sosial yang tinggi dan lain sebagainya. Dengan menelaah kembali ketokohan Soekarno dari segi ini, maka akan nampak bahwa Soekarno adalah seorang figur pemimpin yang layak untuk diteladani oleh generasi muda.

Maka dari itu, keseriusan Negara dalam mencetak guru melalui lembaga pendidikan dan seleksi yang ketat dalam penempatan seseorang menjadi guru merupakan sesuatu yang harus menjadi perhatian serius disamping juga meningkatkan kesejahteraan guru. Negara harus memberi motivasi dan sugesti yang besar pada guru  untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya berupa pelatihan, seminar dan studi banding ke daerah atau Negara yang sukses pendidikannya. Agar mereka profesional dalam bekerja dan dapat tampil sebagai idola bagi anak didiknya. Dengan demikian, negeri ini akan maju seperti negeri jiran  yang sebelumnya justru belajar pada negeri ini.



Sabtu, 05 Juni 2021

Terpaksa Menjadi Dewasa

Terpaksa Menjadi Dewasa

Salam kenal pembaca setia, sudah lama sejak aku memulai menulis di blog ini. Selamat Datang bagi para pengunjung baru. Semoga apa yang kutulis disini bukan hanya tentang diriku dan dirimu, tapi juga membawa kebermanfaatan bagi sesama. Memang, telah banyak yang telah kita lalui selama setahun ini. Entah sedih, senang, kecewa, bangga, semuanya telah terlewati dan menjadikan diri kita di titik ini.

Entah apa tolak ukur dewasa. Ada yang bilang umur 20 tahun sudah dewasa, ada yang bilang jka sudah menikah maka sudah dewasa, dan ada juga yang bilang bahwa jika sudah memiliki pekerjaan maka sudah dewasa.  Menurutku, tidak ada tolak ukur dewasa yang sesungguhnya. Aku yang masih 22 tahun dipaksa untuk menjadi dewasa. Ada banyak hal yang harus aku pertanggungjawabkan di usia ini.

Mungkin di lingkungan kita 22 tahun adalah angka yang cukup matang dan sudah dewasa. Tapi aku belum merasa menjadi dewasa. Jika kembali ke aku yang berumur 17 tahun, aku tidak menemukan perbedaan diriku yang signifikan. Apakah kalian juga merasakan yang sama ?

Di usia 22 tahun, ada yang sudah menikah

Di usia 22 tahun, ada yang sudah memiliki 2 anak

Di usia 22 tahun, ada yang sudah menjadi sarjana

Di usia 22 tahun, ada yang sudah menjadi tulang punggung keluarga

Di usia 22 tahun, ada yang sudah menikmati harta benda yang melimpah

Di usia 22 tahun, ada yang sudah berdiam diri dibawah tanah menunggu hari kiamat

Dimanapun titik kita saat ini, aku merasa bahwa tidak ada saat yang tepat untuk memperbaiki diri selain saat ini dan sekarang juga. Kita tidak akan tau kapan titik terakhir yang kita lalui. Sehingga apapun yang ada di hadapan kalian, semoga kalian melkukannya dengan sungguh-sungguh dan terus mendekatkan diri kepada Tuhan kita. Itulah yang akan menjadikan kita dewasa.